Hak Asuh Anak Dari Ibu Beralih ke Ayah Apakah Bisa ?
Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, dapat menilik bunyi Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Adapun salah satu masalah yang sering muncul dari perceraian adalah mengenai hak asuh anak. Siapa yang paling berhak atas hak asuh anak jika perkawinan orang tua putus karena perceraian?
Mengacu bunyi Pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan mengindikasikan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi. Adanya penguasaan anak secara formil oleh salah satu pihak pada hakikatnya untuk mengakhiri sengketa perebutan anak.
Apabila sengketa itu tidak diputus di pengadilan, akan menjadi berlarut-larut, sehingga dampaknya anak menjadi korban, walaupun harus diakui juga bahwa banyak sekali yang tidak mempersoalkan hak asuh anak setelah proses perceraian karena keduanya sepakat mengasuh dan mendidik anak bersama-sama.
Hal ini sejalan dengan Pasal 41 UU Perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Mengenai hak asuh anak, UU Perkawinan tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak mendapatkan hak asuh atas anak yang belum berusia 12 tahun.
Melainkan hanya mengatur baik ibu atau bapak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya dan jika ada perselisihan hak asuh anak, Pengadilan yang akan memberi keputusannya.
Sedangkan dalam hukum Islam, aturan hak asuh anak yang perceraian orang tuanya diputus oleh Pengadilan Agama tercantum di Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menyatakan:
Dalam hal terjadinya perceraian:
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Farida Prihatini dalam artikel Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak, menjelaskan hak asuh anak diberikan kepada ibunya bila anak belum dewasa dan belum baligh. Hal itu karena ibu secara fitrahnya lebih bisa mengatur anak dan lebih telaten mengasuh anak.
Namun demikian, menurut Farida hak asuh anak juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memiliki kelakuan yang tidak baik, serta diangap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu terutama dalam mendidik anaknya. Yang diutamakan itu adalah untuk kebaikan si anak.
Apakah hak asuh anak dari ibu bisa beralih ke ayah? Hak asuh dimungkinkan untuk dialihkan jika didapati fakta, si ibu tidak bisa menjamin pemenuhan hak-hak anak.
Kemungkinan ini dapat dilihat dalam Pasal 156 huruf c KHI bahwa seorang ibu bisa kehilangan hak asuh terhadap anaknya sekalipun si anak masih berusia di bawah 12 tahun:
apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
Sehingga berdasarkan ketentuan itu, si ayah bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama terkait pemindahan hak asuh anak (hadhanah) yang tentunya disertai dengan alasan-alasan yang kuat untuk mendukung terkabulnya permohonan peralihan hak asuh anak tersebut.